Jumat, 24 Agustus 2012

OLAH JIWA / OLAH SUKMA

Jiwa
Proses pertama transformasi atau penjiwaan terhdap peran, adalah memberi focus kepada energi yang sudah dimiliki oleh si actor. Dia harus mengendalikan dirinya menuju satu tujuan tertentu. Usaha memfokuskan energi itu adalah usaha menyerahkan diri sepenuhnya kepada aksi dramatis sesuai tuntutan naskah, dimana ia mampu menentukan pilihan-pilihan aksi selaras dengan keyakinannya terhadap tokohnya.

Konsentrasi
Pengertian : konsentrasi secara harfiah berarti memfokus, sehingga dalam konsentrasi, kepekaan si actor dapat mengalir bebas menuju satu titik atau bentuk tertentu.

Persiapan seorang actor
Seorang actor harus punya pusat perhatian (konsentrasi) dan bahwa pusat ini seyogyanya tidak berada di tengah tempat latihan. Makin menarik pusat perhatian, makin sanggup ia memusatkan perhatian.
Jelas sekali sebelum anda sanggup menetapkan titik perhatian yang sedang dan yang jauh, terlebih dahulu anda harus belajar bagaimana caranya memandang dan melihat benda-benda di area set.
Aktor yang berada di area set, menghayati suatu kehidupa yang sejati atau imajiner. Kehidupan abstrak ini perhatian dalam diri kita. Tapi ia tidak mudah untuk dimanfaatkan, karena ia sangat rapuh. Seorang actor harus juga seorang pengamat, bukan saja dalam memainkan peran di atas pentas atau sebuah film, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dengan keseluruhan dirinya ia harus memusatkan pikirannya pada segala yang menarik perhatiannya . Ia harus memandang sebuah objek, bukan lain, tapi betul-betul dengan mata yang tajam. Jika tidak, maka seluruh metode kreatifnya akan ternyata mengembang dan tidak punya hubungan dengan kehidupan. Umumnya orang tidak tahu bagaimana caranya mengamati tarikna wajah, sorotan mata seseorang dan nada suara untuk dapat memahami pikiran lawan bicara mereka. Mereka tidak bisa secara aktif memahami kebenaran kehidupan secara kompleks dan juga tidak sanggup mendengar kan sedemikian rupa, hingga mereka dapat memahami apa yang mereka dengar.
Jika mereka dapat melakukan ini, kehidupan ini akan jauh lebih baik, lebih mudah dan kerja kreatif mereka akan lebih kaya, lebih halus dan lebih dalam.
Tapi kita tidak bisa memaksakan pada seseorang sesuatu yang tidak dimilikinya, hanya daya yang dimilikinya saja yang bisa ia kembangkan.
Bagaimana cara untuk mencapai ini?
Pertama, actor harus belajar melihat, menyimak dan mendengarkan sesuatu yang indah. Kebiasaan itu akan mencerdaskan jiwa mereka dan melahirkan perasaan yang akan meninggalkan jejak-jejak yang dalam pada ingatan emosi mereka.
Ambil sekuntum bunga kecil atau selembar kelopak bunga dan cobalah utarakan dengan katapkata tentang seluk beluk, tekstur, warna dan sifat-sifatnya secara detail. Setelah melalui proses kreatif ini, lalu anda mulai menelaah bahan emosional yang hidup yang paling diperlukan dan dijadikan landasan bagi kreativitas selanjutnya.
Kesan-kesan yang diperoleh dari hubungan langsung dan pribadi dengan orang lainnya. Hubungan ini dapat diperoleh hanya kontak batin. Begitu banyak pengalaman batin ini yang tidak bisa dilihat secara inderawi oleh mata, hanya terbayang dalam tarikan wajah, mata, suara dan cara kita bicara dan menggerakan tangan. Tapi sungguhpun begitu, bukanlah hal yang mudah untuk menangkap apa yang terkandung dalam diri orang lain, Karena biasanya orang tidak selalu membukakan pintu hatinya dan membiarkan kita melihat mereka dan baimana mereka sebenarnya. Makna-makna seperti itu melekat pada pola perilaku yang mengenali dan mampu memanfaatkan aspek perilaku ini secaraefektif. Seorang actor dituntut untuk dapat memerankan setiap kegiatan disetiap situasi. Tiap karakterpun harus terindividualisasikan dengan hal yang berkenaan pada perilaku. Sebagai tambahan, tiap karakter yang diperankan seharusnya mempunyai perilaku yang umum seperti yang ada di tengah masyarakat.
Perilaku luar sebuah rancangan harus ditempatkan semata-mata melalui bagian luar karakternyasaja dari harus memiliki arti yang mendalam.
Terakhir, actor harus bisa mengontrol kecenderungan bahasa non – verbalnya yang mungkin saja tidak cocok dengan karakter yang diperankannya.

Observasi dan Empati
Observasi atau mengamati berarti tanggap akan hal apa saja yang terjadi dalam kehidupan. Tentang masyarakat, tempat, objek dan segala situasi yang menambah kedalaman tingkat kepekaan seorang actor. Ketika mengamati orang-orang actor seharusnya membuat catatan-catatan ini bisa menjadi dasar karakter yang akan ditemukannyadimasa dating. Ini dapat membantu saat dibutuhkan untuk menciptakan sebuah karakter lengkap dalam sebuah struktur permainan.
Sekali sebuah karakter mendarah daging dalam diri sang actor, hubungan langsunga dapat terjadi antara actor dan penonton. Penonton merasakan apa yang diperankan oleh sang actor. Sebagai contoh, saat seorang teman kehilangan seseorang yang dicintainya, respon empatinya adalah kita ikut merasakan penderitaannya.
Kekuatan suskes dari pengamatan (observasi) adalah gabungan antara empati dan perhatian intelektual. Ini artinya seorang actor harus mengembangkan sesitifitas pada indera: melihat, menyentuh, mencium, mendengar, dan merasakan.
Mengenal dan mengingat suatu perasan dalam aktifitas keseharian adalah sangat penting. Untuk mengamati secara benar seseorang harus dapat meraksan dan mengkatagorikan inderanya. Jadi, indera (senses), perasaan (feelings), dan pengamatan (observation) bergabung menjadi suatu mata rantai sebagai alat pembentuk sebuah karakter. Seorang actor harus menggunakan kekuatan observasi untuk tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mempelajari karakter manusia dalam berjalan, gesture, berbicara dan duduk yang nantinya dapat ditiru saat berada di atas panggung.U
2.      ntuk menstimulasi kreatifitas imajinasi.
3.      Untuk menggabungkan  beberapa kualita yang dapat dipelajari saat mengamati bintang. Keanggunan seekor kucing adalah salah satu contoh dari karakter binatang.


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah Adjib A., Pengantar Bermain Drama, CV Rosda, Bandung.
Noer C. Arifin, Teater Tanpa Masa Silam, DKJ, Jakarta, 2005.
Iman Sholeh & Rik Rik El Saptaria, Module Workshop Keaktoran Festamasio 3, TGM, Yogyakarta, 2005.


Dipublikasikan oleh: materiteater.blogspot.com

Kamis, 23 Agustus 2012

MENYENTUH TUBUH TEATER


Saya mengibaratkan teater sebagai tubuh manusia dan itu barangkali dapat menjadikan teater sebagai  sesuatu yang lumrah dan akrab bagi kita.
 Kita tahu bahwa tubuh kita bukanlah “barang jadi”. Ia senantiasa membutuhkan pengelolaan, penghidupan sendiri, dari awal hingga akhir. Semenjak kita lahir hingga kita tutup usia, bahkan ia terus bergulir: tumbuh dan berawal dari unsur renik lalu kembali ke unsur renik secara biologis dan kimiawi. Berbagai penamaan, berbagai kepentingan, berbagai makna, hingga berbagai material yang menerpa tubuh kerap mengalami perubahan, perkembangan dari hari ke hari. Tak elak, tubuh tak pernah mengalami keutuhan yang langgeng, ia fana, setidaknya sepanjang hirup nafas dan detak jantung masih bisa kita rasakan hingga saat ini.
 Kita tahu pula bahwa tubuh kita senantiasa dibangun oleh operasi organ-organ yang bekerja secara bergantian, simultan, dan sangat jarang mengalami bentrokan dalam operasi(gerak)nya ketika beraktivitas dengan tujuan tertentu. Ketika berjalan, tubuh selalu menyelaraskan organ yang mendukungnya: kaki kiri dan tangan kanan di belakang, kaki kanan dan tangan kiri di depan. Ketika makan, tangan mengangkat sendok, mulut terbuka, dan mata menatap sambal yang berkilatan di dalam sebuah mangkuk. Kemudian, meneteslah liur yang hangat dan kental itu sebelum kita mengecap kepedasan sambal. Setiap operasi tubuh kita selalu bekerja bersama melalui tahapan yang teratur dan bermotif.
Begitu pun tubuh teater. Ia bukan semacam “barang hasil sulap”. Teater dibangun, digerakan, dioperasikan oleh berbagai organ, berbagai medium, berbagai latihan, berbagai pola kerja, berbagai anasir sebagaimana tubuh kita dibangun. Perubahan-perubahan terus terjadi di dalamnya, sebagaimana dinamika pencapaian tubuh teater terus berkembang.

Tetapi, akan ada banyak yang ditinggalkan dalam perkembangan tubuh teater. Penjadian teater yang sangat ditentukan oleh modal kala dan ruang itu sama halnya dengan penjadian suatu organisme: banyak meninggalkan jejak, tidak kekal, dan nyaris hanya selalu bisa dialami oleh mereka yang melakukannya pada saat itu. Juga, konon, karena tak ada dua pertunjukan teater yang sama dalam lakon yang diulang pada ruang, penonton, serta pemain yang sama: teater menampik kepentingan untuk menjadi abadi.
 Tentu pula, di dalam teater ada banyak kepentingan sesuai dengan berbagai anasir tadi. Tetapi, jelas pula bahwa berbagai kepentingan itu harus saling bertemu, menciptakan keberbagaian yang erat dan kental. Tubuh teater tidak bekerja hanya atas kepentingan satu bagian tertentu yang dominan. Ia terutama dioperasikan oleh keberbagaian yang menjadi bagian di dalamnya. Boleh jadi, ketika mulai bersentuhan dengan teater, kita pun mau tidak mau bersentuhan dan menjadi bagian dari keberbagaian itu.

Akan sangat tidak mudah ketika kita mulai menjalani keberbagaian sebagai akibat logis dari teater jika teater hanya disikapi sebagai cara dan hasil kerja satu bagian. Cahaya sebagai cara dan hasil kerja penata lampu. Set sebagai cara dan hasil kerja penata artistik. Lagu sebagai cara dan hasil kerja penata musik. Tokoh hanya selesai sebagai cara dan hasil kerja aktor. Pertunjukan hanya cara dan hasil kerja sutradara semata. Jika tak ada hubungan yang mengikat di dalamnya dan setiap bagian berdiri sebagai kualitas mandiri (tidak berbagi), sangat disayangkan jika hal itu bisa menjauhkan teater dari tubuhnya sendiri pada akhirnya.
 Grotowsky pernah melakukan eksperimen untuk mempertanyakan ulang mengenai hubungan yang terjadi di dalam tubuh teater. Dia mempertanyakan tentang variabel-variabel teater yang dapat dicopot (ditanggalkan) dari tubuh teater. Ia bertolak dari kemiskinan dengan pengertian tidak memiliki sesuatu kecuali sesuatu, bukan saya memiliki sesuatu selain memiliki sesuatu. Jawaban final dari pertanyaannya nyatalah pemain, yang memainkan: yang bermain, yang melakukan permainan. Pemain dalam kaitannya dengan penyempitan (pengurangan) bagian teater yang dipertanyakan Grotowsky kemudian diperoleh sebagai kata/kerja/ kunci dari teater.
 Bisakah teater dilakukan tanpa pemain? Tidak dan tidak akan pernah bisa. Operasi teater akan selalu bertumpu pada pemain, manusia yang menjadi darah-tulang-daging tubuh teater. Berangkat dari dan selesai di situlah teater. Perangkat-perangkat kerja teater lainnya dapat dikatakan bisa menyusul. Tanpa pemain, peran tidak akan hadir. Tanpa pemain, lampu tidak akan menyala. Tanpa pemain, lagu tidak akan berbunyi. Tanpa pemain, tiket tidak akan tersebar. Tanpa pemain, ruang pertunjukan tidak akan riuh oleh tepuk tangan.
 Walhasil, tanpa pemain, teater tidak akan ada yang memainkan. Dan dalam setiap permainan teater, setiap bagian yang ada lebih baik bersiap untuk menghadapi keberbagaian, bersiap menjadi bagian dari kesatuan, dan bersiap bersilang sengketa ketika berupaya mewujudkan teater sebagai tubuh yang utuh dan padu. Tetapi, sebagaimana tubuh kita, senyata mungkin satu bagian tubuh terasa sakit, seketika itu bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit yang sama dan tidak membiarkan sakit itu berjangkit lebih lama pada seluruh tubuh teater. Dengan demikian, menyentuh tubuh teater adalah menyentuh keberbagaian pemain sekaligus berupaya menjadi bagian dari segenap pemain yang ada: menyentuh diri sendiri.
 Penulis seorang pembelajar pada
ruang teater Komunitas Langit

Tulisan ini dipublikasikan pada Buletin Seni Komunitas Langit “Guam”

Dipublikasikan oleh: materiteater.blogspot.com
Sumber: http://darikamarpalingbelakang.wordpress.com/

Lakon Remaja ARLOJI Karya P. Hariyanto


PARA PELAKU

Jidul                            Anak laki-laki berumur 15 tahun
Pak pikun                    Pembantu rumah tangga berumur sekitar 40 tahun
ibu                               Nyonya rumah berumur sekitar 42 tahun
Tritis                            Gadis berusia 18 tahun

KISAH INI TERJADI DI SEBUAH KAMAR DEPAN KELUARGA YANG CUKUP TERPANDANG. TERDAPAT BERBAGAI PERLENGKAPAN YANG LAZIM DI KAMAR TAMU SEMACAM ITU, NAMUN YANG TERPENTING IALAH SEPERANGKAT MEJA DAN KURSI TAMU. PADA KIRA-KIRA PUKUL 09.00 DRAMA INI TERJADI.

DENGAN PENUH KERIANGAN, SI JIDUL MEMBERSIHKAN MEJA DAN KURSI-KURSI. KEPALANYA MELENGGUT-LENGGUT, PANTATNYA BERGIDAL-GIDUL SEIRAMA DENGAN MUSIK DANGDUT YANG TERDENGAR MERIAH. JIDUL TERKEJUT KETIKA MUSIK MENDADAK BERHENTI.


PAK PIKUN (muncul, langsung menuju ke arah Jidul)
Ayo! Mana! Berikan kembali padaku!Ayo! Mana!

JIDUL (ber-ah-uh, sambil memberikan isyarat yang menyatakan ketidakmengertiannya)

PAK PIKUN
Jangan berlagak pilon! Siapa lagi kalau bukan kamu yang mengabilnya? Ayo, Jidul, kamu sembunyikan di mana, heh?

JIDUL (ber-ah-uh, semakin bingung dan takut)

PAK PIKUN
Dasar maling! Belum sampai sebulan di sini kamu sudah kambuh lagi, ya? Dasar nggak tahu diri! Ayo, kembalikan kepadaku! Mana, heh?

JIDUL  (meringkuk diam)

PAK PIKUN (semakin keras suaranya)
Jidul! Kamu mau kembalikan apa tidak? Mau insaf apa tidak? Apa mau ku panggilkan orang-orang sekampung untuk mencincangmu, heh? Kamu mau dipukuli seperti dulu lagi? Ayo, mana?

IBU (Muncul tergesa-gesa)
Eh, ada apa Pak Pikun? Ada apa dengan Jidul?

PAK PIKUN
Anak ini memang tidak pantas dikasihani, Bu. Dia mencuri lagi, Bu!

IBU
Mencuri? (tertegun). Kamu mencuri, Jidul?

JIDUL (ber-ah-uh sambil menggoyang-goyangkan kepala dan tangannya)

PAK PIKUN
Mungkir, ya? Padahal jelas, Bu! Tadi saya mandi. Setelah itu, arloji saya tertinggal di kamar mandi. Lalu dia masuk, entah mengapa. Lalu tidak ada lagi arloji saya, Bu.

IBU
O, arloji Pak Pikun hilang, begitu?

PAK PIKUN
Bukan hilang, Bu! Jelas dicurinya! Ayo, ngaku saja! Kamu ngaku saja, Jidul!

JIDUL (ber-ah-uh mencoba menjelaskan ketidaktahuannya)

PAK PIKUN
Masih mungkir? Minta ku pukul?

IBU
sabar, Pak Pikun! Sabar!

PAK PIKUN
Maaf, Bu. Ini biar saya urus sendiri! Kamu baru mau ngaku kalau dipukul, ya? Sini! (Mau memukul si Jidul).

SI JIDUL (Meloncat, lari ke luar dikejar oleh Pak Pikun)

IBU
Sabar dulu Pak Pikun! Diperiksa dulu! (mendesah sendiri) Ya, ampun! Orang sudah tua kok gegabah, tidak sabaran begitu.

TRITIS (Muncul membawa buku dan alat tulis).
Uh! Pagi-pagi sudah mencuri. Nganggu orang belajar saja!

IBU
Belum jelas, Tritis!

TRITIS
Ah, ibu sih suka membela si Jidul! Siapa lagi kalau bukan dia yang mengambil arloji Pak Pikun? Apa ibu lupa? Dia kan dulu ketahuan mencuri ayam kita, ketahuan, mau dipukuli orang kampung malah kemudian dibela ayah dan ditampung di rumah kita. Keenakan dia, maka kini mencuri lagi!

IBU
Ya, memang, dulu pernah mencuri. Itu karena ia kelaparan. Tetapi, belum tentu sekarang dia mengambil arloji Pak Pikun, Tritis!

TRITIS
Kalau bukan si Jidul, apa ibu atau aku yang mengambil arloji itu, ibu? (Tertawa).

IBU (Menemukan ide).
Ah! Mungkin masih ada di kamar mandi, Tritis! Atau mungkin di dekat jemuran. Pak Pikun kan pelupa. Mari kita coba mencarinya! (Bersama Tritis melangkah ke kiri akan ke luar, tetapi kemudian terhenti)
Terdengar suara ribut. Si Jidul kembali meloncat masuk dari kanan. Maunya berlari, tetapi tersandung sesuatu. Ia jatuh terguling mengejutkan Ibu dan Tritis. Dan sebelum sempat bangkit, Pak Pikun sudah keburu masuk pula dan menangkapnya dengan geram.

PAK PIKUN (sambil mengacung-acungkan penggada besar, tangan kirinya tetap mencengkeram leher kaus si Jidul).
Mau, lari ke mana lagi, heh? Ku pukul kamu sekarang!

IBU
Sabar, Pak! Tunggu dulu!

PAK PIKUN
Tunggu apa lagi, Bu! Anak nggak benar ini harus saya ajar biar kapok. (Akan memukulkan penggadanya).

IBU
Tunggu dulu! Siapa tahu, Jidul benar tidak mencuri dan Pak Pikun yang tidak benar menaruh arlojinya!

PAK PIKUN
Tak mungkin, Bu! Saya yakin, si Brengsek ini pencurinya. Kamu harus mampus (akan memukulkan penggadanya).

TRITIS (Melihat tangan Pak Pikun)
Eh, lihat! Arlojinya kan itu! Di pergelangan tangan kananmu, Pak Pikun. Lihat! (Tertawa ngakak).

IBU
O, iya! Betul! Dasar Pak Pikun ya Pikun! (Tertawa geli).

PAK PIKUN TERTEGUN MEMANDANG PERGELANGAN TANGANNYA YANG KANAN. DILEPASKANNYA SI JIDUL. DIAMAT-AMATINYA ARLOJI ITU. PENGGADANYA SUDAH DIJATUHKAN. DENGAN SANGAT MALU, IA BERJALAN KE LUAR TERTEGUN-TEGUN, DIIRINGI GELAK TAWA IBU DAN TRITIS. SEMENTARA ITU, SI JIDUL PUN TERTAWA-TAWA PULA DENGAN CARANYA SENDIRI YANG SPESIFIK
.
Sumber: Cerita Rekaan dan Drama, Modul Universitas Terbuka